Ruang
belajar itu merupakan awal dimana aku mulai menapakkan jemari kaki dan
meregangkan tulang-tulangku yang hampir remuk. Pagi yang dingin merontokkan
kehangatan ruangan. Aku lebih tertarik untuk menopang kepalaku diantara
kursi-kursi belajar dikelas, ketimbang membaca buku yang kurasa membuat mataku
sayu terkulai lemas, lalu akhirnya tertidur pulas.
Viola, begitulah
sapaan akrab dari teman-temanku. Viola Agni Larasetya Utami merupakan nama yang
sudah diberikan oleh orang tuaku 20 tahun silam. Cukup panjang memang, namun
aku rasa ada alasan mengapa orang tuaku memberikan nama itu kepadaku.
Yah,
akupun bangga menyandang nama tersebut karena nama itu memberikan peranan yang
sungguh luar biasa dihidupku.
***
Vi… Vio..
Viola... Bangun… Kamu kenapa vi?
“Kok jam
segini malah tidur?
“Pasti
begadang lagi, benar kan?“ “ujar ocha bersemangat”.
“Ukh,
Ocha sebel nich!”
“Udahan
dong, ngedumel mulu sich”. “Jawab Viola tak ingin kalah”.
“Biarin,
kalo gak gini, kamu mana mau bangkit dari mimpi.”
“Viola,
kamu udah ngerjain tugas Mam Sri?”
“Conjunction sama materi
presentation?”
“Liat
dong, vi! Aku belum nich.”
“Tadi
malam, aku nemenin mama belanja, jadi gak sempat ngerjain.”
“Please,
vi bantuin dong.” “Rengek ocha kepadaku”.
“Udah,
tuh ambil ditas tapi cha kapan kamu mau bisa kalo kerjanya Cuma nyontek aja?”
“Emang, gak
takut ntar malah ditanyain sama Mam Sri terus gak bisa jawab? “Ujarku serius”.
“Udah
dech, gak bakalan.”
“Lagian
anak emas Mam Sri tuh bukan aku tapi kamu!” “Bantah Ocha”.
“Ada-ada aja kamu, cha!”
“Ada-ada aja kamu, cha!”
“Mau jadi
apa kamu nanti, kalo kerjanya cuma nyontek?”
“Kalo
nyontek bisa bikin kamu ngerti, gak masalah. Aku cuma khawatir kamu malah gak
bisa apa-apa.”
“Udahlah,
yang penting aku ngerjain.” Potong Ocha”
***
Yah,
seperti itulah terus menerus pada setiap mata pelajaran apapun. Sungguh
prihatin melihat kenyataan bahwa sahabatku ocha, juga sama patennya dengan yang
lain dalam hal “Copast” atau “Copy Paste”. Sebagai sahabat ocha,
aku hanya bisa mengingatkan saja.
Sebenarnya
aku kecewa, sebagai sahabat aku belum berhasil mengubah sifat khas miliknya.
Aku sadar itu semua diluar hakku, namun setidaknya aku menginginkan yang
terbaik untuknya.
15 menit
kemudian, Mam Sri datang. Seperti biasa menyapa muridnya dengan sangat
bersemangat.
“Morning
student! How are you today?” “Sapa Mam Sri bersemangat”.
“Morning
mam, fine and you?” “Jawab kami kompak”
“I’m fine
too”, do you have homework?”
“Yes, we
do.” “Jawab kami bersamaan”
“Yeah, do
you have problems in your homework?”
“Any
questions, please?”
***
Tidak ada
satupun jawaban dari kami, membuat Mam Sri bingung. Mam Sri mengulang
pertanyannya kembali kepada semua muridnya, termasuk aku. Namun, jawaban dari
kami tak kunjung juga didapatkannya.
Mam Sri
Nampak sedikit kecewa, itu semua telihat dari raut wajahnya yang masih segar
meski diumurnya yang hampir menginjak setengah abad.
“Hello,
may I know about something to you, Viola?”
“Do you
wanna explain to me, what happened to all?”
“I’m
confused if nobody of you don’t tell to me about it.” “Ujar Mam Sri dengan
penuh harap”
“Nothing,
mam! We’re fine. We just memorizm our homework, you said that we must
presentation in front of the class. So, we just prepare it more.
***
Setelah
mendengar penjelasan dariku, Mam Sri akhirnya kembali tersenyum. Sepertinya
beliau mulai tergoda untuk menantang kami maju kedepan satu-persatu
mempresentasikan materi dengan menggunakan bahasa inggris. Setidaknya, aku bisa
melihat senyuman itu merekah lagi, namun sejujurnya hatiku teriris karena harus
membohongi Mam Sri. Aku tau apa penyebab semuanya hanya diam saat Mam Sri
bertanya. Fakta yang terjadi ialah mereka semua tidak mengerti, itu saja. Mam
Sri mulai mengawali pembicaraan dimuka kelasku. Benar saja, kami ditunjuk satu
persatu maju kedepan kelas mempresentasikan materi. Teman-temanku yang lain
sibuk menghapal, ada yang memuaskan, ada juga yang gagal total. Aku lega saat
giliranku tiba, aku bisa dengan lancar mempresentasikan materi dengan lugas.
Alhamdulillah, tidak sia-sia usahaku semalam. Aku sadar, sebagai siswa tugasku
belajar. Alhamdulillah kerja kerasku berbuah manis pada setiap mata
pelajaranku.
“Ok, it’s
a chance for Ocha Liana Putri”. “Give applause to Ocha”
Suara
tepuk tangan membahana diruang kelasku, namun sosok ocha tak jua Nampak dimuka
kelas. Aku heran, kenapa ocha tak berkeinginan maju mempresentasikan tugas
tersebut. Kulihat wajah ocha sejenak, pucat pasih tak berdaya, keringat sebesar
jagung keluar dari pori-pori tubuhnya. Merasakan keanehan itu, aku pun
menodongkan berbagai pertanyaan kepadannya namun tak jua dijawab. Aku kembali
panik, melihat sekujur badannya kaku tak berdaya. Mataku terpanah, seakan
mengetahui jawabannya dari arah bawah kursi yang Ocha duduki.
“Cha,
kamu pipis yach?” “Tanyaku pelan”
“Ssssttt…
jangan berisik vi! Aku malu, kalo yang lain termasuk Mam Sri tau”
“Aku gak
mau maju, aku takut vi. Aku gak bisa presentasi”.
“Kamu
sich, kan tadi udah aku bilangin. Masih juga ngeyel, kena batunya kan
akhirnya!” “Sungutku kesal”
***
Mam Sri
mendekati kami berdua, dengan penuh pengertian disuruhnya aku menemani ocha
kekamar mandi. Setelah pelajaran usai, ocha menceritakan semua yang terjadi
kepada Mam Sri, tanpa amarah Mam Sri menasehati kami dengan lembut. Sejak itu
ocha berubah, ocha berjanji untuk tidak nyontek lagi, dan akhirnya kami pun
bertambah akrab. Semua gara-gara nyontek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar